HISTORIOGRAFI PERADABAN ISLAM
A. Pendahuluan
Era kejayaan Islam ditandai dengan adanya kejayaan peradaban Islam, dan tidak ada bangsa lain yang menulis sejarah sperti kaum muslim. Tanpa mengenal dan melakukan studi terhadap penulis sejarah pada masa lalu tersebut, sejarawan dan kaum muslim masa kini tidak akan bisa mendalami dan mengetahui apa yang telah terjadi, dan akan kesulitan dalam memahami dan memanfaatkan sumber sejarah Islam, mengkritik terhadap riwyat sejarah tersebut, memisahkan yang primer dan yang sekunder, dan memisahkan yang autentik dari yang palsu.
Penulisan sejarah di masa lampau sebagai sebuah usaha rekonstruksi peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan tersebut bisa terjadi setelah adanya penelitian. Dalam penulisan tersebut, diperlukan adanya pemaparan sistematis non-kronologis mengenai gejala-gejala terutama gejala manusia, dan istilah yang biasa digunakan belakangan ini adalah historiografi.[1]
Dari definisi tersebut, hanya menunjuk sebagian dari pengertian sejarah, dalam hal ini hanya menunjukkan apa yang terjadi di masa lampau. Oleh karena iytu, perlu adanya pembatasan yang membatasi peristiwa masa lampau tersebut sehingga masuk dalam kategori sejarah. Taufik Abdullah menjelaskan secara terperinci mengenai pembatasan tersebut, menurutnya ada empat hal yang membatasi peristiwa tersebut sehingga bisa disebut sebagai sejarah, Pertama, pembatasan dari dimensi waktu karena sejarah bermula dari bukti-bukti tertulis yang telah ditemukan. Kedua, pembatasan yang berhubungan dengan peristiwa, dalam hal ini tidak semua peristiwa dipandang sebagai sejarah seperti, peristiwa alam yang menjadi factor pendukung yang bisa mempengaruhi proses terjadinya sejarah. Peristiwa alam tersebut bisa disebut sebagai peristiwa yang tidak disengaja. Ketiga, pembatasan yang terkait dengan tempat. Dalam hal ini, sejarah haruslah diartikan sebagai sebuah rangkaian tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada suatu masa di masa yang lampau dan dilakukan di tempat tertentu. Keempat, pembatsan berkaitan dengan seleksi. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau hanyalah kepingan-kepingan yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari sejarah.[2]
Sehingga dengan kategori tersebut, bisa diketahui sejarah sebagai gambaran masa lampau dalam karya para sejarawan. Oleh karena itulah, kemudian dipandang perlu untuk mengatahui bagaimana tindakan atau hasil tindakan yang oleh sejarawan dipandang perlu dan penting yag berkaitan dengan sejarah dan prosesnya yang masuk sebagai bagian dari peristiwa sejarah.
Penelisan sejarah dilakukan setelah adanya penelitian, karena penulisan yang tidak berdasar tanpa adanya penelitian akan menjadi sebuah rekonstruksi tanpa pembuktian. Dalam ilmu penelitian sejarah tersebut, yang berlaku adalah ilmu penelitian yang berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan, dan telah dilakukan pengujian yang benar. Sedangkan dalam penulisannya, sang penulis harus mempuanyai kemampuan menyusun fakta-fakta, yang bersifat fragmenteris tersebut kedalam suatu uraian yang sistematis, utuh dan komunikatif.[3]
Sejarah sebagai suatu rangkaian peristiwa di masa lampau harus bisa menjawab tentang apa, siapa, dimana, dan apabila, bagaimana, mengapa, apa jadinya. Dari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan elementer tersebut disebut sebagai fakta sejarah dan menjadi unsure yang memungkinkan adanya sejarah. Sedangkan jawaban atas pertanyaan bagaimana merupakan sebuah rekonstruksi yang berusaha menjadikan semua unsure yang terkait dalam suatu deskripsi disebut sejarah dan secara tekhnis disebut sebagai keterangan historis.[4]
Sejarawan biasa berhadapan dengan persoalan-persoalan yang berupa sumber sejarah, menentukan dan menyeleksi sumber yang benar dan kemudian menuangkannya ke dalam tulisan. Dengan demikian, maka seorang sejarawan dituntut mempunyai kemampuan teknis dan wawasan teori, tetapi juga integritas yang tinggi.
Sedangkan sejarah jika ditinjau dari bahasa Arab adalah tarikh, al-tarikh berkembang sebagaimana sejarah berkembang. Tarikh sesuatu yang menunjukkan ilmu yang berusaha menggali peristiwa-peristiwa masa lalu agar tidak dilupakan, pengertian dan kegunaannya sepadan dengan kata history yang menunjukkan ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu.
Keterlibatan dan kesubyektifan sejarawan dalam menilai dan menuliskan peristiwa-peristiwa sejarah adalah persoalan lain. Maka oleh karenanya, dibutuhkan suatu pengetahuan yang mendasari penulisan sejarah tersebut.
B. Penelitian Sejarah Peradaban Islam
Pendekatan sejarah menjelaskan dari segi mana kajian sejarah hendak dilakukan, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkannya, dan lain sebagainya. Deskripsi dan rekonstruksi yang diperoleh akan banyak ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipergunakan. Oleh sebab itu ilmu sejarah tidak segan-segan melintasi serta menggunakan berbagai bidang disiplin atau ilmu untuk menunjang studi dan penelitiannya, yang di dalam ilmu sejarah sudah sejak awal telah dikenalnya dan disebut sebagai ilmu-ilmu bantu sejarah (sciences auxiliary to history).
1. Pendekatan Manusia
Penelitian sejarah selalu berarti penelitian tentang sejarah manusia. Fungsi dan tugas penelitian sejarah ialah untuk merekonstruksi sejarah masa lampau manusia (the human past) sebagaimana adanya (as it was). Harus disadari sepenuhnya bahwa betapapun cermatnya suatu penelitian sejarah, dengan tugas rekonstruksi semacam itu seorang sejarawan akan masih tetap menghadapi sejumlah problem yang tidak mudah. Dengan memberikan aksentuasi ”sejarah manusia” untuk mengingatkan bahwa penelitian dan rekonstruksi sejarah hendaknya lebih berperspektif pada konsep manusia seutuhnya. Manusia adalah makhluk rohani dan jasmani. Rohani dengan manifestasinya dalam bentuk akal, rasa, dan kehendak, yang menjadi sumber eksistensi kemanusiaannya, namun eksistensi hanya nyata dalam realitas di dalam alam jasmani. Perkembangan rohani manusia menjadi nampak dalam wadah agama, kebudayaan, peradaban, ilmu pengetahuan, seni dan teknologi. Manusia juga beraspek individu sekaligus sosial, unik (partikular) sekaligus umum (general). Keduanya sekaligus merupakan keutuhan (integritas), kesatuan (entitas), dan keseluruhan (totalitas). Rekonstruksi sejarah pun hendaknya utuh dan menyeluruh.
2. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial[5]
Melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial dimungkinkan ilmu sejarah memperoleh pemahaman yang lebih utuh mengenai makna-makna peristiwa sejarah. Thomas C. Cochran, misalnya, telah menerapkan konsep peranan sosial (social role) dalam melaksanakan eksplorasi dan eksplanasi mengenai berbagai sikap, motivasi serta peranan tokoh masyarakat Amerika pada Abad XIX. Konsep mobilitas sosial (social mobility) telah membuktikan sangat berguna dalam studi berbagai segi masyarakat masa lampau.
a. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah, menurut Max Weber, dimaksudkan sebagai upaya pemahanan interpretatif dalam kerangka memberikan penjelasan (eksplanasi) kausal terhadap perilaku-perilaku sosial dalam sejarah. Sejauh ini perilaku-perilaku sosial tersebut lebih dilekatkan pada makna subjektif dari seorang individu (pemimpin atau tokoh), dan bukannya perilaku massa.
Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah menghasilkan sejarah sosial. Bidang garapannya pun sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial berkaitan erat dengan sejarah sosial-ekonomi. Tulisan Marc Bloch mengenai French Rural History, Sartono Kartodirdjo tentang Peasants’ Revolt of Banten. Kelas sosial, terutama kaum buruh, menjadi bidang garapan juga bagi sejarah sosial di Inggris. Demikian pula proses transformasi sosial dengan berkembangnya pembagian kerja sosial yang kian rumit dan diferensiasi sosial yang menjadi sangat bervariasi dan terbentuknya aneka ragam institusi sosial juga tidak pernah luput dari pengamatan sejarwan sosial. Tema-tema seperti : kemiskinan, perbanditan, kekerasan dan, kriminalitas dapat menjadi bahan tulisan sejarah sosial. Di pihak lain seperti kesalehan, kekesatriaan, pertumbuhan penduduk, migrasi, urbanisasi, transportsasi, kesejahteraan, dan lain-lain telah banyak dikaji dan semakin menarik minat para peneliti sejarah.[6]
Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah menghasilkan sejarah sosial. Bidang garapannya pun sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial berkaitan erat dengan sejarah sosial-ekonomi. Tulisan Marc Bloch mengenai French Rural History, Sartono Kartodirdjo tentang Peasants’ Revolt of Banten. Kelas sosial, terutama kaum buruh, menjadi bidang garapan juga bagi sejarah sosial di Inggris. Demikian pula proses transformasi sosial dengan berkembangnya pembagian kerja sosial yang kian rumit dan diferensiasi sosial yang menjadi sangat bervariasi dan terbentuknya aneka ragam institusi sosial juga tidak pernah luput dari pengamatan sejarwan sosial. Tema-tema seperti : kemiskinan, perbanditan, kekerasan dan, kriminalitas dapat menjadi bahan tulisan sejarah sosial. Di pihak lain seperti kesalehan, kekesatriaan, pertumbuhan penduduk, migrasi, urbanisasi, transportsasi, kesejahteraan, dan lain-lain telah banyak dikaji dan semakin menarik minat para peneliti sejarah.[6]
b. Pendekatan Antropologi
Pendekatan antropologi mengungkapkan nilai-nilai, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan dan pola hidup, yang mendasari perilaku tokoh sejarah.[7]
Antropologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah manusia dan pelbagai dimensi kehidupannya. Hanya bedanya sejarah lebih membatasi diri kajiannya pada peristiwa-peristiwa masa lampau, sedang antropologi lebih tertuju pada unsur-unsur kebudayaannya. Kedua disiplin ilmu itu dapat dikatakan hampir tumpang tindih, sehingga seorang antropolog terkemuka, Evans-Pritchard, menyatakan bahwa ”Antropologi adalah Sejarah”. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Arnold J. Toynbee (seorang pakar sejarah barat) yang menyatakan bahwa tugas seorang sejarawan tidak jauh berbeda dari seorang antropolog, ialah melalui studi komparasi berusaha mempelajari siklus kehidupan masyarakat, kemudian dari masing-masing kebudayaan dan peradaban mereka ditarik sifat-sifatnya yang universal (umum).
Fakta yang dikaji dari kedua disiplin ilmu, antropologi dan sejarah, adalah sama pula. Terdapat tiga jenis fakta, ialah : artifact, socifact, dan mentifact. Fakta menunjuk kepada kejadian atau peristiwa sejarah. Sebagai suatu konstruk, fakta sejarah pada dasarnya sebagai hasil strukturisasi seseorang terhadap suatu peristiwa sejarah. Maka artifact sebagai benda fisik adalah konkret dan merupakan hasil buatan. Sebagai proses artifact menunjuk hasil proses pembuatan yang telah terjadi di masa lampau. Analog dengan hal itu maka socifact menunjuk kepada peristiwa sosial yang telah mengkristalisasi dalam pranata, lembaga, organisasi dan lain sebagainya. Sedang mentifact menunjuk kepada produk ide dan pikiran manusia. Ketiganya, artifact, socifact, dan mentifact, adalah produk masa lampau atau sejarah, dan hanya dapat dipahami oleh keduanya, antropologi dan sejarah, dengan melacak proses perkembangannya melalui sejarah. Studi ini jelas menunjukkan titik temu dan titik konvergensi pendekatan antropologi dan pendekatan sejarah.
Fakta yang dikaji dari kedua disiplin ilmu, antropologi dan sejarah, adalah sama pula. Terdapat tiga jenis fakta, ialah : artifact, socifact, dan mentifact. Fakta menunjuk kepada kejadian atau peristiwa sejarah. Sebagai suatu konstruk, fakta sejarah pada dasarnya sebagai hasil strukturisasi seseorang terhadap suatu peristiwa sejarah. Maka artifact sebagai benda fisik adalah konkret dan merupakan hasil buatan. Sebagai proses artifact menunjuk hasil proses pembuatan yang telah terjadi di masa lampau. Analog dengan hal itu maka socifact menunjuk kepada peristiwa sosial yang telah mengkristalisasi dalam pranata, lembaga, organisasi dan lain sebagainya. Sedang mentifact menunjuk kepada produk ide dan pikiran manusia. Ketiganya, artifact, socifact, dan mentifact, adalah produk masa lampau atau sejarah, dan hanya dapat dipahami oleh keduanya, antropologi dan sejarah, dengan melacak proses perkembangannya melalui sejarah. Studi ini jelas menunjukkan titik temu dan titik konvergensi pendekatan antropologi dan pendekatan sejarah.
Secara metodologis pendekatan antropologi memperluas jangkauan kajian sejarah yang mencakup :[8]
1) Kehidupan masyarakat secara komprehensif dengan mencakup pelbagai dimensi kehidupan sebagai totalitas sejarah.
2) Aspek-aspek kehidupan (ekonomi, sosial, politik) dengan mencakup nilai-nilai yang menjadi landasan aspek-aspek kehidupan tersebut.
3) Golongan-golongan sosial beserta subkulturnya yang merupakan satu identitas kelompoknya.
4) Sejarah kesenian dalam pelbagai aspek dan dimensinya, serta melacak ikatan kebudayaan sosialnya.
5) Sejarah unsur-unsur kebudayaan : sastra, senitari, senirupa, arsitektur, dan lain sebagainya.
6) Pelbagai gaya hidup, antara lain : jenis makanan, mode pakaian, permainan, hiburan, etos kerja, dan lain sebagainya.
Pendek kata segala bidang kegiatan manusia dapat dicakup dalam sejarah kebudayaan. Dalam sejarah kebudayaan dimensi politik tidak termasuk di dalamnya, meskipun menurut definisi yang luas kehidupan politik pun termasuk dalam kebudayaan.
c. Pendekatan Ilmu Politik[9]
Pengertian politik dapat bermacam-macam sesuai dari sudut mana memandangnya. Namun, pada umumnya definisi politik menyangkut kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Fokus perhatian ilmu politik, karenanya, lebih tertuju pada gejala-gejala masyarakat seperti pengaruh dan kekuasaan, kepentingan dan partai politik, keputusan dan kebijakan, konflik dan konsesnsus, rekrutmen dan perilaku kepemimpinan, masa dan pemilih, budaya politik, sosialisasi politik, masa dan pemilih, dan lain sebagainya. Apabila politik diartikan sebagai polity (kebijakan), maka definisi politik lebih dikaitkan dengan pola distribusi kekuasaan. Jelas pula bahwa pola pembagian kekuasaan akan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sosial, ekonomi, dan kultural. Posisi sosial, status ekonomi, dan otoritas kepemimpinan sesorang dapat memberi peluang untuk memperoleh kekuasaan.
Otoritas kepemimpinan senantiasa menjadi faktor kunci dalam proses politik. Max Weber membedakan tiga jenis otoritas : (1) Otoritas karismatik, yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi; (2) Otoritas tradisional, yakni berdasarkan pewarisan; dan (3) Otoritas legal-rasional, yakni berdasarkan jabatan serta kemampuannya.
Otoritas kepemimpinan senantiasa menjadi faktor kunci dalam proses politik. Max Weber membedakan tiga jenis otoritas : (1) Otoritas karismatik, yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi; (2) Otoritas tradisional, yakni berdasarkan pewarisan; dan (3) Otoritas legal-rasional, yakni berdasarkan jabatan serta kemampuannya.
Semula politik menjadi tulang punggung sejarah. Politics is the backbone of history. Pernyataan ini menunjukkan peranan politik dalam penulisan sejarah pada masa lampau. . Pada saat sekarang sejarah politik nampak masih menonjol, namun tidak sedominan seperti dahulu. Maka ungkapannya pun bergeser menjadi ”History is past politics, politics is present history.” Sejarah adalah politik masa lalu, politik adalah sejarah masa kini.
Pendekatan politik dalam penulisan sejarah menghasilkan sejarah politik. Sejarah politik dapat menggunakan berbagai pendekatan sesuai dengan topik yang dipilih. Setidaknya terdapat 8 (delapan) macam pendekatan, meskipun antara pendekatan yang satu dengan lainnya sering saling tumpang-tidih (Kuntowijoyo, 1993 : 177-182) . Ialah :[10]
1) Sejarah intelektual
Aspirasi pokok sejarah intelektual ialah adanya Zeitgeist (jiwa zaman) dan pandangan sejarah idealistik yang berpendapat bahwa pikiran-pikiran mempengaruhi perilaku. Contoh tulisan Herbert Feith dan Lance Castle yang berjudul : Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965. (Jakarta : LP3ES, 1988).
2) Sejarah konstitusional
Dari konstitusi suatu bangsa dapat diketahui filsafat hidup, dasar pemikiran waktu membangun bangsa, dan struktur pemerintahan yang dibangun. Dalam konstitusi juga terlihat kepentingan, konsensus, dan konsesi yang diberikan kepada masing-masing kepentingan. Contohnya ialah buku Herbert Feith. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca : Cornell University Press).
3) Sejarah institusional
Isinya mengenai sistem politik dengan perangkat (lembaga, struktur, institusi), baik negara (kabinet, birokrasi, parlemen, militer) dan non Negara (ormas, orsospol, LSM). Paling banyak ditulis orang mengenai partai. Contoh : Ahmad Syafii Maarif. (1988). Islam dan Politik Indonesia pada Demokrasi Terpimpin. (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press).
4) Sejarah behavioral
Berhubungan dengan perilaku (behavior) negara dan partai-partai politik dalam sosialisasi gagasan, rekrutmen pemimpin/anggota, dan pelaksanaan tindakan politik termasuk dalam sejarah perilaku. Contoh : tulisan Clifford Geertz. (1960). The Religion of Java. (Glencoe : The Free Press).
5) Sejarah komparatif
Isinya mengenai kajian komparatif tentang kehidupan politik di Indonesia. Contoh : tulisan R. William Liddle. (1972). Culture and Politics in Indonesia.(Ithaca : N.Y. Cornell University Press).
6) Sejarah sosial
Berisi sejarah kelompok-kelompok sosial (ulama, santri, pengusaha, petani, mahasiswa, dan pemuda) dengan aspirasi politiknya sesuiai dengan kepentingannya. Misalnya : Heru Cahyono. (1992). Peranan Ulama dalam Golkar. (Jakarta : Sinar Harapan).
7) Studi Kasus
Ialah mengenai studi kasus-kasus politik. Contoh : Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI. (1997). Evaluasi Pemilu Orde Baru. (Bandung :Mizan).
8) Biografis
Tentang biografi politik. Contoh : J.D. Legge. (1972). Sukarno : A Political Biography. (London :The Pinguin Press).
3. Pendekatan Psikologi dan Psikoanalisis
Dengan menggunakan pendekatan psikologi dan psikoanalis studi sejarah tidak saja sekedar mampu mengungkap gejala-gejala di permukaan saja, namun lebih jauh mampu menembus memasuki ke dalam kehidupan kejiwaan, sehingga dapat dengan lebih baik untuk memahami perilaku manusia dan masyarakatnya di masa lampau.
Terobosan pertama yang paling terkenal dalam menerapkan psikologi dalam (depth psychology) pada studi ilmu sejarah dilakukan oleh Erik H. Erikson. Ternyata konsep-konsep mengenai krisis identitas di masa remaja dapat digunakan untuk mengeksplanasi perilaku tokoh-tokoh sejarah terkemuka. Mengenai mengapa Martin Luther tampil sebagai reformator, Mahatma Gandhi menjadi seorang pemimpin gerakan anti kekerasan (non violence) di India, dan Adolf Hitler tanmpil sebagai seorang yang anti Semitis, serta Sukarno sebagai orang anti kolonialisme dan imperialisme, dapat dilacak kembali melalui analisis kehidupan tokoh-tokoh tersebut di masa remaja mereka. Dengan demikian pendekatan psycho history yang dirintis oleh Erik H Erikson telah membuka suatu dimensi baru dalam studi sejarah.
Pendekatan psycho history juga dapat dikembangkan menjadi konsep psikologi sosial (sociopsychological) untuk menjelaskan perilaku sekelompok anggota masyarakat. Tentu saja permasalahannya menjadi semakin kompleks. Richard Hostadter, misalnya, dalam karya tulisannya The Age of Reform (1955) berupaya menjelaskan bangkitnya gerakan-gerakan sosial pada Abad XIX dan XX di Amerika. Menurunnya status dan prestise masyarakat kelas menengah di Amerika pada peralihan menuju Abad XX mendorong tampilnya pemimpin-pemimpin gerakan progresif. Mereka bergerak dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang industrialis kaya baru dan boss-boss mereka yang cenderung korup.
Pendekatan psycho history juga dapat dikembangkan menjadi konsep psikologi sosial (sociopsychological) untuk menjelaskan perilaku sekelompok anggota masyarakat. Tentu saja permasalahannya menjadi semakin kompleks. Richard Hostadter, misalnya, dalam karya tulisannya The Age of Reform (1955) berupaya menjelaskan bangkitnya gerakan-gerakan sosial pada Abad XIX dan XX di Amerika. Menurunnya status dan prestise masyarakat kelas menengah di Amerika pada peralihan menuju Abad XX mendorong tampilnya pemimpin-pemimpin gerakan progresif. Mereka bergerak dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang industrialis kaya baru dan boss-boss mereka yang cenderung korup.
4. Pendekatan Kuantitatif
Pendekatan kuantitatif adalah upaya untuk mendeskripsikan gejala-gejala alam dan sosial dengan menggunakan angka-angka. Quantum, quantitas dalam bahasa Latin berarti jumlah. Oleh sebab menggunakan angka-angka, maka pendekatan kuantitatif mempersyaratkan adanya pengukuran (measurement) terhadap tingkatan ciri-ciri tertentu dari suatu gejala yang diamati. Pengamatan kuantitatif berupaya menemukan cirri-ciri tersebut, untuk kemudian diukur berdasarkan kriteria-kriteria pengukuran yang telah ditentukan. Hasil pengukuran itu berupa angka-angka yang menggambarkan kuantitas atau derajat kualitas dari kenyataan dan eksistensi gejala alam yang diukurnya. Data-data angka hasil pengukuran dari gejala-gejala alam yang diamati itulah yang kemudian dianalisis, dicari derajat kuantitas, atau kualitasnya, dipelajari hubungannya antara gejala yang satu dengan lainnya, dikaji pengaruhnya terhadap suatu gejala, hubungan seba-akibatnya, pendek kata dianalisis sesuai dengan tujuan penelti.
Pendekatan kuantitatif dalam penelitian dan penulisan sejarah menghasilkan apa yang disebut sejarah kuantitatif (quantitative history). Sejarah kuantitatif pertama-tama dikenal di Perancis sekitar tahun 1930-an, yang mulai berkembang pada tahun 1949 dan 1950-an. Studi Crane Brinton (1930) mengenai keanggotaan partai Yakobin dalam revolusi Prancis, analisis Donald Greer (1935) tentang korban-korban masa Pemerintahan Teror pada dasarnya merupakan usaha-usaha kuantifikasi penulisan sejarah sosial (Harry Ritter, 1986 : 351-0352).
Menjelang tahun 1960-an sejarah kuantitatif mulai merembes ke Amerika Serikat dengan pertama-tama mengambil bentuk sejarah ekonometrik (econometric history) yang dirintis oleh sejarawan Lee Benson (1957, 1961) yang penulisannya diilhami dan didasari pada penerapan orientasi statistic dari-dari teori behaviorisme dsalam ilmu-ilmu sosial-politik. Beberapa penelitian mulai memperluas penggunaan analisis statistic, tidak saja dalam sejarah-sejarah ekonomi, politik dan sosial, melainkan juga dalam sejarash-sejarah cultural dan intelektual dengan menggunakan metode seperti halnya content analysis. Sejak saat itu karya-karya sejarah mulai dihiasi dengan gambar-gambar grafik, chart, table, persentase, bahkan kadang-kadang memasukkan komputasi statistic Kai-Kuadrat dan regresi.
Metode sejarah hingga sekarang lebih cenderung menggunakan pendekatan kualitatif. Harus diakui pendekatan kualitatif mengandung banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu adalah bersumber pada tiadanya kriteria yang jelas dalam penyusunan instrumentasi yang digunakan untuk mengukur kebenaran data dan fakta, serta tiadanya kaidah-kaidah umum, apalagi khusus, dalam metode dan teknik menganalisis hubungan antar berbagai peristiwa sejarah, hingga dengan demikian dalam menganlisis hubungannya, lebih banyak ditentukan oleh intuisi dan imaginasi peneliti yang kadar kebenarannya tidak dapat diuji secarsa empirik. Generalisasi sejarah tak pernah mendasarkan diri pada infeerensi dari hubungan antara besarnya sampel dengan jumlah populasi.
Menjelang tahun 1960-an sejarah kuantitatif mulai merembes ke Amerika Serikat dengan pertama-tama mengambil bentuk sejarah ekonometrik (econometric history) yang dirintis oleh sejarawan Lee Benson (1957, 1961) yang penulisannya diilhami dan didasari pada penerapan orientasi statistic dari-dari teori behaviorisme dsalam ilmu-ilmu sosial-politik. Beberapa penelitian mulai memperluas penggunaan analisis statistic, tidak saja dalam sejarah-sejarah ekonomi, politik dan sosial, melainkan juga dalam sejarash-sejarah cultural dan intelektual dengan menggunakan metode seperti halnya content analysis. Sejak saat itu karya-karya sejarah mulai dihiasi dengan gambar-gambar grafik, chart, table, persentase, bahkan kadang-kadang memasukkan komputasi statistic Kai-Kuadrat dan regresi.
Metode sejarah hingga sekarang lebih cenderung menggunakan pendekatan kualitatif. Harus diakui pendekatan kualitatif mengandung banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu adalah bersumber pada tiadanya kriteria yang jelas dalam penyusunan instrumentasi yang digunakan untuk mengukur kebenaran data dan fakta, serta tiadanya kaidah-kaidah umum, apalagi khusus, dalam metode dan teknik menganalisis hubungan antar berbagai peristiwa sejarah, hingga dengan demikian dalam menganlisis hubungannya, lebih banyak ditentukan oleh intuisi dan imaginasi peneliti yang kadar kebenarannya tidak dapat diuji secarsa empirik. Generalisasi sejarah tak pernah mendasarkan diri pada infeerensi dari hubungan antara besarnya sampel dengan jumlah populasi.
Penggunaan pendekatan kuantitatif dalam metode sejarah dapat memperkecil kelemahan-kelemahan tersebut di satu pihak, dan dapat memperbesar bobot ilmiahnya dalam analisis peristiwa-peristiwa sejsarah di lain pihak. Penalaran berdasarkan tata-fikir dan prosedur statistik setidak-tidaknya dapat mengendalikan (mengontrol) analisis dan interpretasi berdasarkan pada pendapat-pendapat pribadi. Lebih jauh tata-fikir dan prosedur statistik dalam metode sejarah dapat membantu metodologi sejarah dalam mengefektifkan tugas-tugas ilmiahnya, ialah untuk memberikan penjelasan (eksplanasi), meramalkan (prediksi), dan mengendalikan (kontrol) terhadap gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam melakukan generalisasi, dengan demikian, sejarawan harus menjadi lebih berhati-hati dan dalam menganalisis hubungan kausal yang kompleks dan rumit dari berbagai peristiwa kiranya tidak mungkin lagi dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan pendekatan kuantitatif. Pendek kata penggunaan pendekatan kuantitatif dapat mempertajam wawasan metode sejarah.
C. Filsafat Penelitian Sejarah
Bila cabang filsafat yang lima – epistemologi, metafisika, logika, etika dan estetika – dijadikan acuan, maka filsafat sejarah termasuk bagian dari cabang filsafat metafisika. Di sini orang mengajukan serangkaian pertanyaan radikal seputar persoalan sejarah, seperti: apa hakikat sejarah, apa tujuan gerak sejarah, apakah sejarah manusia mempunyai kecenderungan-kecenderungan, apakah perkembangan dalam sejarah manusia diatur oleh hukum-hukum tertentu, apakah hukum-hukum yang membentuk sejarah manusia, bagaimana sejarah manusia berawal, dan bagaimana ia berkembang, faktor-faktor apa yang berpengaruh secara efektif dalam teori tentang sejarah? Karena keradikalan pertanyaan yang diajukan mengenai hakikat sejarah itulah yang memungkinkan filsafat sejarah termasuk cabang metafisika.
Pengkajian sejarah secara filsafati dianggap cukup penting untuk memajukan Ilmu sejarah. Bahkan, bagi Kuntowijoyo (1994: xi-xii) peran kefilsafatan dalam pengkajian sejarah adalah sebuah keniscayaan bagi kemajuan Ilmu Sejarah, baik masalah kefilsafatan yang menyangkut pandangan hidup (specultive philosophy of history) maupun menyangkut teori, metodologi dan metodenya (critical philosophy of history).[11] Malah, masalah etika yang memperhatikan hubungan Ilmu Sejarah dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama ilmu-ilmu sosial dan estetika, yang mempersoalkan bagaimana menulis sejarah-sejarah yang baik dan benar, misalnya tentang gaya, kuantifikasi, sejarah lisan pun sesungguhnya punya peran penting bagi tujuan yang sama, meskipun kedua hal yang terakhir ini sering terabaikan.
Arti penting peran kefilsafatan bagi kemajuan Ilmu Sejarah, ternyata, tidak tampak dalam kenyataan. Para sejarawan “biasa” masih banyak yang kurang peduli dengan persoalan kefilsafatan (Filsafat Sejarah). Memang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Ankersmit, bahwa untuk menjadi seorang sejarawan yang ulung, tidak mutlak perlu memiliki pengetahuan filsafat sejarah. Banyak sejarawan ulung tak pernah menekuni masalah-masalah filsafat sejarah. Akan tetapi, patut di sini diungkapkan manfaat pengetahuan filsafat sejarah bagi seorang peneliti sejarah, yakni bahwa pengetahuan mengenai filsafat sejarah dapat mempertajam kepekaan ktitis seorang peneliti sejarah. Fischer, seorang filosof sejarah, pada tahun 1971 menulis sebuah buku berjudul Historian’s Fallacies. Di dalamnya ia menyoroti beberapa kepincangan dalam penalaran yang secara sistematis muncul pada ahli sejarah. Bahkan, dalam buku ini ditemukan bahwa kekurangan daya nalar itu terdapat pada karya-karya ahli-ahli sejarah terkemuka.[12]
Selain itu, kegunaan filsafat sejarah bagi seorang peneliti sejarah dapat meningkatkan kemampuan peneliti sejarah dalam mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai keadaan pengkajian sejarah pada suatu saat tertentu. Bahkan, sekedar pengetahuan, filsafat sejarah mutlak perlu, agar dapat mengapresiasi pengkajian sejarah masa kini dengan memuaskan. Bukankah pengkajian sejarah turut ditentukan oleh diskusi-diskusi antara para filsuf sejarah mengenai sejarah? Selanjutnya, sedikit pengetahuan mengenai filsafat sejarah dapat memaparkan latar belakang bagi seorang ahli sejarah, untuk menentukan posisinya sendiri terhadap usaha-usaha memasukkan pendekatan-pendekatan baru terhadap sejarah. Dalam pengkajian sejarah terdapat banyak aliran, sehingga perlu diadakan identifikasi. Di sini pengetahuan mengenai filsafat sejarah ada manfaatnya.[13]
Satu hal lagi perlu disampaikan di sini, bahwa setiap ahli sejarah yang dengan sungguh-sungguh menekuni pofesinya, mau tidak mau menganut beberapa pendapat yang berakar pada filsafat sejarah. Intuisi-intuisi serupa itu tidak selalu serasi dengan perkembangan ilmu sejarah. Para filosof sejarah dengan susah payah merekonstruksi logika penelitian sejarah; maka dari itu tidak mengherankan, bahwa para peneliti sejarah sendiri, kalau hanya mengandalkan intuisinya, kadang-kadang sampai pada kesimpulan-kesimpulan mengenai bidang penelitiannya yang sukar dapat dipertahankan. Memang, filsafat sejarah tidak mengajarkan bagaimana pengkajian sejarah harus dilakukan. Akan tetapi, filsafat sejarah dapat menawarkan pengertian mengenai untung ruginya berbagai pendekatan terhadap masa silam dan menjadikan kita waspada terhadap pendapat-pendapat keliru mengenai tugas dan tujuan pengkajian sejarah.
Apa yang diharapkan dari Filsafat Sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu dibedakan tiga tahap. Pertama, tahap ilmu-ilmu pendukung. Tahap ini sangat penting bagi bagi seorang ahli sejarah bila ia ingin menentukan dengan tepat apa yang terjadi pada masa silam. Pada tahap ini selalu dipermasalahkan fakta dari masa silam. Kedua, Tahap yang menyangkut penulisan sejarah sendiri. Di sini fakta disusun menurut suatu kerangka yang penuh arti, dalam bentuk buku atau karangan. Untuk memperoleh kerangka penuh arti itu, si ahli sejarah harus mempergunakan beberapa kaidah atau pedoman yang menjamin, supaya penyusunan fakta itu menghasilkan suau penafsiran mengenai masa silam yang dapat dimengerti atau pada prinsip yang dapat dipertahankan. Ketiga, adalah tahap filsafat sejarah, khususnya filsafat sejarah kritis. Yang dipermasalahkan di sini ialah sejauh mana kaidah-kaidah serta pedoman-pedoman yang disinggung di atas dapat dibenarkan, sehingga si ahli sejarah mengolah fakta-fakta yang telah ditemukan untuk menggambarkan masa silam.[14]
Memang, seorang filsuf sejarah mempermasalahkan kaidah-kaidah serta pedoman-pedoman yang dipergunakan seorang ahli sejarah, sehingga pada prinsipnya memang mungkin, bahwa kaidah dan pedoman tersebut, bila dipandang dari sudut filsafat, tidak dapat dipertahankan, sehingga harus disingkirkan. Akan tetapi, andaikata sungguh terjadi suatu perbedaan pendapat antara apa yang dianggap legitimed oleh seorang filsuf sejarah di satu pihak dan apa yang dilakukan oleh seorang ahli sejarah di lain pihak, ini belum berarti bahwa sang filsuf sejarah benar, sedangkan sang ahli sejarah salah. Sang filsuf hendaknya selalu sadar, bahwa penelitian dan pengkajian sejarah dapat mengandalkan pengalaman berabad-abad lamanya dalam menekuni bahan-bahan sejarah. Kecerdasan para ahli sejarah bersama telah dipertajam lewat perdebatan-perdebatan dengan para rekan sejawat yang ada habis-habisnya. Maka dari itu, bila terjadi suatu konflik antara filsafat sejarah dan pengkajian sejarah, biasanya bukan si peneliti yang salah melainkan si filsuf.[15]
Sesungguhnya terdapat tiga cakupan makna dalam Filsafat Sejarah. Pertama, filsafat sejarah yang bersifat deskripatif; di sini dikaji apa yang ditulis oleh berbagai ahli sejarah? Bagaimana ciri karya pada umumnya; apakah mereka menulis dengan maksud tertentu? Kemudian dapatkah dilihat suatu evolusi dari abad ke abad dalam cara para ahli itu menggambarkan masa silam? Bagian filsafat sejarah ini dinamakan “sejarah penulisan sejarah” atau historiografi. Kedua, berasal dari arti yang terkandung dalam kata sejarah itu sendiri. Kata sejarah pertama-tama dapat diperuntukkan bagi proses historis itu sendiri (sejarah sebagai peristiwa), baru kemudian bagi penulisan proses historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah (sejarah sebagai kisah). Filsafat sejarah spekulatif berdasarkan arti yang pertama. Seorang filsuf sejarah spekulatif memandang arus sejarah faktual dalam keseluruhannya dan berusaha untuk menemukan suatu struktur dasar di dalam arus itu. Seorang filsuf sejarah spekulatif sungguh melangkah lebih jauh daripada seorang ahli sejarah semata-mata. Bila seorang ahli sejarah menerangkan dan melukiskan masa silam, ia melakukan itu dengan menerima masa silam apa adanya. Akan tetapi, seorang filsuf sejarah spekulatif tidak merasa puas dengan sikap seperti; a mencari suatu struktur-dalam yang tersembunyi di dalam proses historis dan hanya dapat berlangsung demikian.
Sedangkan Filsafat sejarah ktitis berdasarkan arti sejarah yang kedua. Filsafat sejarah kritis meneliti bagaimana masa silam dilukiskan atau digambarkan. Seorang filsuf sejarah kritis meneliti sarana-sarana yang dipergunakan seorang ahli sejarah dalam melukiskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Hubungan antara filsafat sejarah kritis dan pengkajian sejarah sama seperti anatara filsafat ilmu dan ilmu. Kedua-duanya meneliti secara filsafati bagaimana proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat dibenarkan.
D. Bidang Penelitian Sejarah
Bidang penelitian sejarah jika dipandang dari dimensi manusia (in human dimension), sejarah mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. Sejarah, karenanya, merupakan bidang ilmu pengetahuan dan bidang penelitian yang sangat luas, seluas waktu, tempat, dan dimensi (aspek) kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian bidang studi, kajian, atau penelitian sejarah tak dapat tidak harus dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sesuai dengan waktu, ruang, dan dimensi atau aspek-aspek kehidupan yang ingin dikajinya. Namun sejarah harus dikaji pula secara dan sebagai keseluruhan dan kesatuan yang padu dari ketiga-tiganya, waktu (time), ruang (space) dan dimensi (dimension) manusia. Maka terdapat pula 3 (tiga) macam pembagian bidang sejarah, yang berdasarkan periode waktu, wilayah geografis, dan tema (dimensi atau aspek kehidupan)-nya :[16]
1. Berdasarkan Periode Waktu
Berdasarkan periode waktunya bidang penelitan sejarah dapat dibagi menjadi 5 (lima) periode atau masa:
a). Periode atau Masa Prasejarah,
b). Periode atau Masa Kuno,
c). Periode atau Masa Madya (Pertengahan),
d). Periode atau Masa Modern (Baru),
e). Periode atau Masa Mutakhir (Kontemporer)
2. Berdasarkan Wilayah Geografis :
Berdasarkan wilayah geografisnya (dari yang paling luas hingga yang paling kecil sempit wilayahnya) sejarah terbagi menjadi :
a) Sejarah Dunia (World History) : mencakup seluruh dunia,
b) Sejarah Wilayah (Area History) : seperti Sejarah Asia Timur, Sejarah Asia-Pasifik, Sejarah Asia Tenggara, Sejarah Asia Selatan, Sejarah Asia Barat, Sejarah Amerika Utara, Sejarah Amerika Latin, Sejarah Afrika Utara, dan lain sebagainya.
c) Sejarah (Negara) Nasional : seperti Sejarah (Nasional) Indonesia, Sejarah Jepang, Sejarah Cina, Sejarah Filipina, Sejarah India, dan sebagainya.
d) Sejarah Daerah (regional history) : seperti misalnya buku Anton E. Lucas : Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (1989).
e) Sejarah Kota : seperti buku Clifford Geertz : The Social History of an Indonesian Town (1965). Juga buku Y.M. Yeung dan C.P. Lo (eds): Chaning South-East Asian Cities : Reading on Urbanization (1976).
f) Sejarah Desa : seperti buku Koentjaraningrat (ed) : Villages in Indonesisa (1967); Buku Burger, D.H.: Laporan mengenai Desa Pekalongan dalam Tahun 1869 dan 1928 (Jakarta : Bhratara,1971).
3. Berdasarkan Tema (dimensi atau aspek kehidupan) :
Berdasarkan temanya dapat berbentuk :
a) Sejarah Politik,
b) Sejarah Ekonomi,
c) Sejarah Sosial,
d) Sejarah Budaya,
e) Sejarah Seni,
f) Sejarah Ilmu Pengetahuan,
g) Sejarah Teknologi,
h) Sejarah Pertanian,
i) Sejarah Pelayaran dan Perdagangan,
j) Sejarah Perindustrian
k) Sejarah Hukum,
l) Sejarah Konstitusi,
m) Sejarah Diplomasi,
n) Sejarah Agama,
o) Sejarah Militer,
p) Sejarah Maritim,
q) Sejarah Ruang Angkasa,
r) Sejarah Perang,
s) Sejarah Perdamaian, dan lain sebagainya.
4. Arah Baru Penelitian
Di samping ketiga bidang penelitian sejarah sebagai tersebut di atas, akhir-akhir ini nampak adanya suatu arah baru (new directions) dalam bidang penelitian sejarah, terutama di negara-negara maju (Jules R. Benjamin, 1982 : 9-10). Sejarawan-sejarawan mulai menjajagi aspek-saspek lain dari masa lampau. Sejarawan-sejarawan psycho (psychohistorians) mulai mengkaji perkembangan emosional dari individu-individu, keluarga, bahkan kelompok-kelompok. Mereka mencoba menjelaskan tindakan-tindakan, pendapat, serta reaksi emosional sebagian masyarakat terhadap perkembangan-perkembangan sosial akhir-akhir ini seperti perang, depresi, konflik antar kelompok dan etnik. Arah baru lainnya adalah sejarah sains dan teknologi (history of science and technology). Fokusnya di sini adalah pada evolusi ilmu pengetahuan, ialah bagaimana tumbuhnya suatu pengetahuan dan bagaimana pula pengaruh dan aplikasinya dalam masyarakat. Sejarah demografi (historical demography) mengkaji jumlah dan distribusi penduduk dan dampaknya terhadap perubahan-perubahan sosial, juga merupakan salah satu sisi dari arah baru studi sejarah. Sejarah etnik (etnohistory) adalah cabang sejarah budaya yang mengkaji budaya-budaya individual atau kontak antar budaya yang berbeda, agar dapat melacak sebab-sebab perubahan budaya. Sedang sejarawan-sejarawan lingkungan (environmental historians) menguji interaksi antara komunitas manusia dengan habitat mereka.
Bidang baru penelitian sejarah lainnya ialah studi kehidupan pribadi (private life), suatu subjek kajian yang memiliki signifikansi histories yang tidak kalah menariknya. Bidang ini termasuk sejarah keluarga, sejarah olah raga, sejarah film, sejarah anak-anak, dan yang cukup berkembang dan berpengaruh adalah studi sejarah wanita.
Reorientasi bidang-bidang tradisional dalam penelitian sejarah juga merupakan suatu arah baru. Jadi, sekarang terdapat bidang-bidang : sejarah sosial ’’baru’’, sejarah politik ’’baru’’, dan juga sejarah ekonomi ’’baru’’. Beberapa ahli di bidang-bidang ini ingin melihat perkembangan lebih jauh berdasarkan hasil-hasil studi yang telah ada untuk mendapatkan bukti-bukti perkembangan baru perilaku-perilaku kelompok mengenai : pola pemberian suara (voting), keanggotaan kelompok, affiliasi keagamaan, standar hidup, dan lain sebagainya. Bukti-bukti tersebut digunakan untuk memantapkan pemahaman mengenai aspek-aspek dasar kehidupan di masa lampau dan untuk menguji akurasi asumsi-asumsi yang dibuat oleh para ahli dengan bukti-bukti yang lebih impresionistik, yakni : buku harian, pidato-pidato publik, novel, sejarah kontemporer, peristiwa-peristiwa politik, dan sebagainya.
Dua arah ’’baru’’ penelitian sejarah, yang sebenarnya sudah sangat tua adalah : genealogi dan sejarah lokal. Bidang-bidang ini kembali menjadi penting terutama untuk memperkokoh dan menemukan kembali asal-usul pribadi dan keluarga dan kekerabatan mereka di masa lampau. Genealogi adalah cabang studi sejarah keluarga (family history). Sejarah lokal (local history) membangkitkan kembali entusiasme dan afeksi para penghuninya, juga para ahli, untuk meneliti mengenai evolusi kota, komunitas, dan lingkungan sekitarnya.
Arah-arah baru bidang penelitian ini diharapkan memperkaya dan memberi perspektif baru dalam pengembangan penelitian sejarah yang sudah ada.
Arah-arah baru bidang penelitian ini diharapkan memperkaya dan memberi perspektif baru dalam pengembangan penelitian sejarah yang sudah ada.
E. Historiografi Islam
Jika melihat dari perkembangan penulisan sejarah di kalangan kaum muslim, seharuanya ada penelusuran kembali perkembangan penulisan sejarah muncul di kalangan umat Islam. Penulisan sejarah di kalangan kaum muslim pertama kali berkutat pada riwayat-rieayat dan sanad-sanad. Adapun dampak lingkungan dan pelbagai factor social yang melingkupinya baru muncul kemudian. Perkembangan penulisan sejarah mengalami puncaknya di era Ibnu Khaldun. Oleh karena perkembangan penulisan yang pada awalnya berkutat pada permasalahan riwayat-riwayat dan sanad-sanad, maka Effat al-Sharqawi membagi perkembangan tersebut menjadi dua, yaitu, historiografi dengan menggunakan riwayat dan historiografi dengan menggunakan dirayat.[17]
Historiografi dengan menggunakan riwayat, diawali pemikiran yang terinspirasi dari al-Qur’an bahwa ucapan, perbuatan, dan ketetapan rasulullah saw harus dijadikan pegangan. Maka, pengkajian yang pertama kali dilakukan oleh kaum muslim berkenaan dengan segala kehidupan nabi Muhammad saw. Di satu sisi, kaum muslim membutuhkan petunjuk untuk mendukung dan menghadapi berbagai macam urusan pemerintahan dan kehidupan social. Sehingga, dengan itu, penulisan sejarah tentang kehidupan nabi dan sahabat-sahabatnya termasuk dalam kategori sejarah, dan penulis yang dalam hal ini dianggap sejarawan adalah para ahli hadis yang meriwayatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi Muhammad dengan menggunakan metode riwayat.[18]
Perkembangan selanjutnya yang dialami umat Islam berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran di kalangan umat Islam. Aliran-aliran yang dalam Islam turut serta mempengaruhi lahirnya historiografi dengan dirayah, diantara aliran tersebut adalah Mu’tazilah. Mu’tazilah menolak menggunakan metode riwayat karena mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang irasional dan sangat bertentangan dengan aliran mereka yang sangat memperhatikan prinsip-prinsip rasional dalamb menginterpretasikan teks-teks sejarah. Aliran ini juga menekankan pada aspek ide kausalitas dalam melihat dam membaca peristiwa sejarah.[19]
Dari sejarah penolakan mu’tazilah terhadap metode riwayat dianggap tidak rasional, sehingga menyebabkan lahirnya historiografi dengan dirayah. Adapun yang dimaksud dengan dirayah adalah metode sejarah yang menaruh perhatian terhadap pengetahuan secara langsung dari satu segi, dan intepretasi rasional dari segi lain. Historiografi jenis ini juga menaruh perhatian terhadap isi teks sejarah yang dituturkan, tetapi teks tersebut baru diterima setelah melalui kritik intelektual dan rasional.[20]
F. Penutup
Penulisan sejarah yang dilakukan kaum muslim dimuali dengan tradisi lisan, dan di dalam sejarah tersebut terselip berbagai mitologi dan legenda, yang mana ketika dituangkan dalambentuk ditulisan maka akan masuk kategori dan lebih tepat sebagai karya sastra dari pada sejarah. Perkembangan penulisan sejarah masa awal Islam dipengaruhi oleh hadist, tapi pada tahap selanjutnya, Islam mebgalami perkembangan seiring munculnya aliran-aliran pemikiran sehingga berpengaruh terhadap penulisan sejarah.
Penulisan sejarah modern yang biasa juga disebut sebagai gaya penulisan barat sangat ditentukan oleh persentuhan efektif antara Islam dengan barat. Perkembangan penulisan sejarah yang sedemikian pesat di dunia Islam tersebut tampak dari beberapa keistimewaannya yang membedakan penulis sejarah muslim dari negeri-negei lain pada masa yang sama, yaitu :
1. Penulis sejarah di kalangan kaum muslim termasuk orang biasa yang tidak menyandang jabatan tertentu sehingga dengannya, penulis muslim bebas mengeluarkan pendapat mereka dan terikat oleh perintah kerajaan.
2. Dalam proses pnegevaluasian sejarah-sejarah tentang agama Islam, hal-hal yang penulis ambil hanya yang bersumber dari orang-orang yang dipercaya (al-udul al-siqah), dalam hal ini, mereka juga menggunakan kritik yang biasa dipakai oleh ulama hadits.
3. Perkembangan dalam penulisan sejarah di kalangan kaum muslim mengalami perubahan seiring kemajuan peradaban, perkembangan penulisan tersebut meliputi corak penulisa, metode dan kritik terhadap penelitian, dan penentuan tema-tema dalam sejarah.
Sejarawan muslim masa kini akan menemui kendala dalam penulisan sejarah jika tidak melakukan studi kritis terhadap karya sejarawan muslim klasik.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu. cet. I.
Abdullah, Taufik dan Surjomihardjo, Abdurrachman. Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia, 1985.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999. cet. 1.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia, 1993.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001. cet. 4.
Ankersmit. Refleksi Tentang Sejarah; Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Terj. Dick Handoko. Jakarta: PT. Gramedia, 1987.
Tamburaka, Rustam E. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan IPTEK. Jakarta: PT. Rineka Cipta1999.
Hasanuddin, Irfan. “Filsafat Penelitian Sejarah” diakses dari www.irfan.blogger.com pada tanggal 5 Januari 2009.
“Dimensi Penelitian Sejarah” diakses dari www.hendra.wordpress.com pada tanggal 5 Januari 2009.
al-Sharqawi, Effat. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986. cet.5.
[1] Badri Yatim, Historiografi Islam (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu), cet. I, hal. 1.
[2] Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), hal. x-xii.
[3] Badri Yatim, Historiografi Islam, hal. 3.
[4] Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif, hal. iv.
[5] Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. 1, hal. 11-19.
[6] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993), 42-43.
[7] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia, 1993), hal. 4.
[8] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, 156.
[9] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), cet. 4, hal. 120.
[10] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, hal. 177-182.
[11] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), cet. 4, hal. 11-12.
[12] Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah; Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, Terj. Dick Handoko (Jakarta: PT. Gramedia, 1987), hal. 8.
[13] Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan IPTEK (Jakarta: PT. Rineka Cipta1999), hal. 142-143.
[14] Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan IPTEK, hal. 143-144.
[15] Irfan Hasanuddin, “Filsafat Penelitian Sejarah” diakses dari www.irfan.blogger.com pada tanggal 5 Januari 2009.
[16] “Dimensi Penelitian Sejarah” diakses dari www.hendra.wordpress.com pada tanggal 4 Januari 2009.
[17] Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1986), cet. 1, hal. 259-240.
[18] Badri Yatim, Historiografi Islam, hal. 158-159.
[19] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), cet.5, hal. 36-60.
[20] Badri Yatim, Historiografi Islam, hal. 166-167.
0 komentar:
Posting Komentar