PSIKOLOGI ISLAM; DAN STRUKTUR KEPRIBADIAN FREUD
A. Pendahuluan
Sejak pertengahan abad XIX, yang disebut sebagai masa kelahiran ilmu psikologi kontemporer di dunia barat, terdapat banyak pengertian mengenai Psikologi yang ditawarkan oleh para Psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian yaitu, pertama, Psikologi berasal dari kata psyche berasal dari bahasa yunani yang artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu, jadi psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa, kedua psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelejensi, kemauan, dan ingatan, definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt, dan ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku manusia terhadap sesama, perilaku kucing terhadap tikus, dan sebagainya.[1]
Pengertian yang dari Yunani lebih bernuansa filosofis karena penekanannya lebih pada konsep jiwa psikologi. Sedangkan pengertian yang kedua berusaha memisahkan antara yang berhaluan filsafat dengan psikologi, sehingga focus kajiannya hanya berkutat pada masalah kehidupan mental. Adapun definisi yang ketiga lebih focus pada masalah-masalah jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organism dari pada masalah hakikat kejiwaan. Teori dan definisi yang ketiga inilah yang kemudian menjadi pegangan psikolog barat.
Berdasarkan dari beberapa definisi tersebut, segala sesuatu yang berkaitan dengan penelaahan keilmuan psikologi hanya tertuju pada satu hal yaitu jiwa (psyche). Baik dengan mengkaji dari sisi kehidupan mental, dan penelaahan perilaku organisme, semua dilakukan untuk mengungkap serta berusaha melihat jiwa itu sendiri.
Jauh sebelum keilmuan psikologi lahir, al-Qur'an sendiri telah memperkenalkan kata jiwa yang dalam bahasa arabnya al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh. Namun istilah al-nafs yang banyak dipakai dalam literatur psikologi Islam. Selain itu istilah al-nafs dalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan doktrin ajaran Islam, sebab tidak ada satupun nash yang melarang untuk membahasnya. Beda halnya dengan al-ruh yang secara jelas dilarang dipertanyakan seperti dalam al-Qur'an:
Ç WxŠÎ=s%žwÎ)ÉOù=Ïèø9$#`ÏiBOçF�Ï?ré&!$tBur’În1u‘Ì�øBr&`ÏBßyr”�9$#@è% ( Çyr”�9$# `tã�tRqè=t«ó¡o„ur
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S.17:85).
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Istilah ‘Ilm al-Nafs banyak dipakai dalam literatur Psikologi Islam. Bahkan Sukanto Mulyomartono menjelaskan dalam bukunya “Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi”, lebih khusus menyebutnya dengan “Nafsiologi.”Penggunaan istilah ini disebabakan objek kajian psikologi Islam adalah al-nafs, yaitu aspek psikopisik pada diri manusia. Term al-nafs tidak dapat disamakan dengan term soul atau psyche dalam psikologi kontemporer Barat, sebab al-nafs merupakan gabungan antara substansi jasmani dan substansi ruhani, sedangkan soul atau psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia. Menurut kelompok ini, penggunaan term al-nafs dalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan doktrin ajaran Islam, sebab tidak ada satupun nash yang melarang untuk membahasnya. Tentunya hal itu berbeda dengan penggunaan istilah al-ruh yang secara jelas dilarang mempertanyakannya (perhatikan Q.S. al-Isra` ayat 85).
š�tRqè=t«ó¡o„ur Ç`tã Çyr”�9$# ( È@è% ßyr”�9$# ô`ÏB Ì�øBr& ’În1u‘ !$tBur OçF�Ï?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".(Q.S 17:85)
Penggunaan istilah ‘Ilm al-Ruh ditemukan dalam karya ‘psikolog’ Zuardin Azzaino. Istilah itu kemudian dijadikan dasar untuk membangun ‘Psikologi Ilahiah’, yaitu psikologi yang dibangun dari kerangka konseptual al-ruh yang berasal dari Tuhan. Dalam hal ini, tidak mengikuti perkembangan literatur Psikologi Islam, sebab literatur yang digunakan dalam bukunya tidak satupun yang bersumber dari ’Ilm al-Nafs fi al-Islam (Psikologi Islam). Tetapi yang menarik dari tawaran tersebut adalah bahwa ruh yang menjadi objek kajian psikologi Islam memiliki ciri unik, yang tidak akan ditemukan dalam Psikologi Kontemporer Barat. Objek kajian Psikologi Islam adalah ruh yang memiliki dimensi ilahiah (teosentris), sedangkan objek kajian Psikologi Kontemporer Barat berdimensi insaniah (antroposentris). Karena perbedaan yang mendasar inilah, maka terpaksa menggunakan term khusus untuk menentukan ciri unik Psikologi Islam.
Penelitian tentang disiplin psikologi berusaha mengintip jendela wacan yang berkembang di dalam khazanah Islam. Dunia Barat menganggap, salah satu sumber yang sangat kaya dari psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.
B. Struktur Personality
Asal dari terbentuknya manusia adalah kepribadian manusia itu sendiri. Dengan jiwa tersebut, manusia mengaplikasikannya melalui gerakan, yang kemudian gerakan tersebut terbaca oleh asumsi masyarakat sehingga timbullah suatu wacana pribadi. Baik buruknya pribadi seseorang tergantung dari unsur jiwa/ pribadi manusia itu sendiri.[2] Menurut Freud kepribadian adalah integrasi dari id, ego, dan superego.[3] Freud juga menyatakan bahwa kepribadian tersusun dari tiga sistem pokok, yakni: id, ego, dan superego. Meskipun masing-masing bagian dari kepribadian total ini mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme sendiri, namun mereka berinteraksi begitu erat satu sama lain sehingga sulit untuk memisahkan pengaruhnya dan menilai sumbangan relatifnya terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku hampir selalu merupakan produk dari interaksi diantara ketiga sistem tersebut. Adapun penjabaran ketiga sistem tersebut adalah sebagai berikut:
1. Id
Id merupakan bentuk dan sistem kepribadian yang asli, Id merupakan rahim tempat ego dan superego berkembang. Id berisikan segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir, termasuk insting-insting. Id merupakan reservoir energi psikis dan menyediakan seluruh daya untuk menjalankan kedua sistem yang lain. Freud juga menyebut Id sebagai kenyataan psikis yang sebenarnya, karena Id mempresentasikan dunia batin pengalaman subyektif dan tidak mengenal kenyataan obyektif.
Selain itu, Freud juga menyatakan bahwa Id merupakan proses primer dimana proses ini adalah awal dalam proses selanjutnya. Proses primer yang paling baik pada manusia normal seperti mimpi yang diyakini Freud selalu mengungkapkan pemenuhan atau usaha pemenuhan suatu hasrat. Pikiran autistik atau angan-angan sangat diwarnai oleh pengaruh proses primer ini.
Jelas, proses primer sendiri tidak akan mampu mereduksikan tegangan-tegangan. Orang yang lapar tidak dapat memakan khayalan tentang makanan. Karena itu, suatu proses psikologi baru atau sekunder akan berkembang, dan apabila hal ini terjadi maka struktur sistem kedua kepribadian, yaitu ego mulai terbentuk.
2. Ego
Ego merupakan sesuatu yang timbul karena kebutuhan-kebutuahn organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan obyektif. Orang yang lapar harus mencari, menemukan makanan sampai tegangan karena rasa lapar dapat dihilangkan. Yang demikian ini mempunyai makna bahwa, orang harus belajar membedakan antara gambaran ingatan tentang makanan dan persepsi aktual terhadap makanan seperti yang ada di luar. Perbedaan pokok antara id dan ego adalah id mengenal kenyataan subyektif jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.
Ego bisa juga disebut sebagai eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi lingkungan ke mana ia akan memberi respon, dan memutuskan insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif yang sangat penting ini, ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan id, superego, dan dunia luar yang sering bertentangan. Hal ini bukanlah suatu tugas yang mudah dan sering menimbulkan tegangan berat pada ego.
Namun harus diingat, ego merupakan bagian id yang terorganisasi yang hadir untuk memajukan tujuan-tujuan id dan bukan untuk mengecewakannya, dan bahwa seluruh daya berasal dari id. Ego tidak terpisah dari id dan tidak pernah bebas sama sekali dari id. Peranan utamanya adalah menengahi kebutuhan-kebutuhan instingtif dari organisme dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan sekitarnya; tujuan-tujuannya yang sangat penting adalah mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa spesies dikembangbiakkan.
3. Superego
Menurut Freud, system kepribadian yang ketiga dan terakhir adalah superego. Superego merupakan perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat sebagaimana diterangkan orang tua kepada anak, dan dilaksanakan dengan cara memberinya hadiah-hadiah atau hukuman-hukuman. Superego adalah wewenang moral dari kepribadian, yang dalam hal ini mencerminkan yang ideal dan bukan yang real. Superego juga merupakan wewenang moral dari kepribadian memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian superego yang utama adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah dengan demikian ia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma yang diakui oleh masyarakat.
Superego selain sebagai sebuah wewenang moral, juga berfungsi sebagai : [4]
a. Alat yang merintangi impuls-impuls id, terutama impuls –impuls seksual dan agresif, karena impuls-impuls tersebut tidak dikehendaki oleh masayarakat.
b. Pendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan moralistis.
c. Mengajarkan kesempurnaan.
Dengan demikian, superego bisa dibilang cenderung untuk menentang baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri. Superego sebagai wasit tingkah laku yang diinternalisasikan berkembang dengan memberikan respon terhadap hadiah-hadiah (reward) dan hukuman-hukuman (punishment) dari seseorang terhadap orang lain. Dengan kata lain, terbentuknya superego merupakan kontrol diri manusia.
C. Kepribadian Islam; Sebuah Struktur
Terdapat perebedaan pada term kepribadian dari sisi Islam, seperti pada literatur klasik dalam pemikiran al-Ghazali kepribadian lebih merujuk pada term akhlak yang berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi dan juga berusaha menilai baik-buruknya.[5] Sedangkan kepribadian dalam psikologi merupakan tingkah laku (attitude) yang didiagnosa untuk mencari sebuah gejala dan sifat seseorang.
Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan subtansi manusia, sebab dengan pembahasan subtansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia atas jasad dan ruh tanpa memasukkan nafs, seperti firman Allah berikut ini:
ûüÏHs>»yèø9$# �>u‘ !$# 8u‘$t6s? 3 �öDF{$#ur ,ù=sƒø:$# &s! wr&
“Ingatlah, menciptakan (al-khalq) dan memerintah (al-amar) hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S.7:54)
Lafadz al-khalq pada ayat tersebut menurut al-Ghazali berarti, alam penciptaan, sedangkan lafadz al-amar berarti alam perintah. Alam penciptaan menghasilkan jasad, sedang alam perintah menghasilkan ruh manusia.[6]
Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Ada beberapa substansi dalam diri manusia itu sendiri diantaranya adalah:[7]
a. Substansi Jasmani, substansi model ini lebih mengacu terhadap struktur organisme fisik.
b. Substansi Ruhani, merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya.
c. Substansi Nafsani, model yang menggabungkan antara jasad dan ruh. Substansi nafsani memiliki potensi gharizah (insting). Jika potensi ini dikaitkan dengan subtansi jasad dan ruh maka dapat dibagi menjadi tiga bagian; (1) al-qalb yang berhubungan dengan rasa atau emosi; (2) al-'aql yang berhubungan dengan cipta atau kognisi; dan (3) daya al-nafs yang berhubungan dengan karsa atau konasi. Ketiga ini merupakan sub-sistem nafs manusia yang dapat membentuk kepribadian. Jadi, secara sederhana nafsani (nafs) adalah keseluruhan diri pribadi manusia itu sendiri, yang meliputi eksistensi manusia yang paling luar (jasad) sampai esensi yang paling dalam (ruh).
Dari beberapa unsur diatas, kepribadian dalam psikologi Islam adalah integrasi sistem qalb, 'aql, dan, daya al-nafs manusia yang menimbulkan tingkah laku. Substansi nafsani manusia memiliki tiga daya yaitu: (1) kalbu (fitrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya emosi (rasa); (2) akal (fitrah insaniyah) sebagai aspek kesdaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fitrah hayawaniah) sebagai aspek pra atau bawah-sadar manusia yang memiliki daya konasi (karsa).
Jika ditinjau dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan), dan pra atau bawah-kesadaran (fitrah kebinatangan). Sedang dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya emosi, kognisi, dan konasi yang terwujud dalam tingkah laku luar maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan).
Secara umum integrasi struktur kepribadian Islam secara umum dapat dilihat sebagai berikut:[8]

Kalbu Kepribadian Muhtmainnah Islam
Iman
Sosialitas
Nafsani Akal Kepribadian Lawwamah Moralitas
Rasional
Produktif
Nafsu Kepribadian Ammarah Kreatif
Konsumtif
Bagan diatas dapat dipahami bahwa masing-masing komponen nafsani memiliki saham dalam pembentukan kepribadian, walaupun salah satu diantaranya ada yang lebih dominan. Persentase pemberian daya oleh masing-masing sistem kepribadian dapat diperkirakan sebagaimana dalam tabel berikut ini:[9]
NO | Daya Nafsani | Tingkatan Kepribadian | ||
Kep. Mutmainnah | Kep.Lawwamah | Kep. Ammarah | ||
1 | Kalbu | 55% | 30% | 15% |
2 | Akal | 30% | 40% | 30% |
3 | Nafsu | 15% | 30% | 55% |
Adapun struktur kepribadian Islam adalah sebagai berikut:[10]
a. Kepribadian Ammarah (Nafs al-Ammarah)
Kepribadian ammarah adalah model kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Nafs al-ammarah menarik kalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Sebagaimana firman Allah:
!$tBur ä—Ìh�t/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou‘$¨BV{ Ïäþq�¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu‘ þ’În1u‘ 4 ¨bÎ) ’În1u‘ Ö‘qàÿxî ×LìÏm§‘ ÇÎÌÈ
“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.” (Q.S.12:53).
Kepribadian ammarah adalah bentuk kepribadian di bawah-sadar manusia. Dan orang yang memiliki kepribadian ini maka orang tersebut tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya tetapi juga orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) daya syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya, (2) daya ghadhab yang selalu tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya. Pada dasarnya, orientasi kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat-sifat binatang (hewani). Yang demikian ini sama halnya dengan kedudukan Id menurut Freud.
Kepribadian ammarah dapat beranjak menuju kepribadian yang lebih baik apabila orang yang berkepribadian tersebut telah diberi rahmat oleh Allah swt. Pendakian kepribadian ammarah menuju menuju ketingkat kepribadian yang lebih baik hanya dapat mencapai satu tingkat dari tingkatan kepribadian yang ada, yaitu kepribadian lawwamah. Hal tersebut disebabkan oleh persentase daya nafsu lebih dekat dengan persentase daya akal dan terlalu jauh jaraknya dengan daya kalbu (lihat tabel diatas). Pendakian ini membutuhkan latihan khusus yang biasa disebut dengan riyadhah, untuk menekan daya nafsu dari hawa, seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa, dan sebagainya.
b. Kepribadian Lawwamah (Nafs al-Lawwamah)
Kepribadian lawwamah[11] adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Dalam hal ini, kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak zhulmaniah (gelap)-nya, namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan ber-istigfar. Hal itu dapat dipahami bahwa kepribadian lawwamah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah. Sebagaimana firman Allah swt.
Iwur ãNÅ¡ø%é& ħøÿ¨Z9$$Î/ ÏptB#§q¯=9$# ÇËÈ
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”(Q.S.75:2)
Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi komponen akal. Sebagai komponen yang bernatur insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalitistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya berfungsi, maka manusia tersebut akan mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum Humanis yang pola pikirnya berorientasi pada kekuatan serba manusia, sehingga sifatnya antroposentris. Apabila akal telah diberi percikan nur kalbu, maka fungsinya menjadi baik. Dalam hal ini, akal dapat dijadikan sebagai salah satu media untuk menuju kepada Tuhan. al-Gazhali sendiri meskipun sangat mengutamakan pendekatan cita-rasa (zawq), namun masih menggunakan kemampuan akal pula. Sedangkan menurut Ibnu Sina, akal mampu mencapai pemahaman yang abstrak dan akal juga mampu mencapai akal mustafad.[12] Akal mustafad ini adalah akal yang mampu menerima limpahan pengetahuan dari Tuhan melalui Akal fa'al (Malaikat Jibril).
Ibnu Qayyim al-Jauziyah membagi kepribadian lawwamah ini menjadi dua bagian, yaitu: (1) Kepribadian lawwamah malumah, yaitu kepribadian lawwamah yang bodoh dan dzalim; (2) Kepribadian lawwamah ghair malumah, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk memperbaikinya.[13]
c. Kepribadian Muthmainnah (Nafs al-Muthmainnah)
Kepribadian Muthmainnah ini adalah kepribadian yang telah telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan kemudian tumbuh sifat-sifat baik. Kepribadian ini selalu berorientasi kepada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang, begitu tenangnya sehingga ia dipanggil oleh Allah swt dengan firmannya:
$pkçJƒr'¯»tƒ ß§øÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö‘$# 4’n<Î) Å7În/u‘ ZpuŠÅÊ#u‘ Zp¨ŠÅÊó�£D ÇËÑÈ
“Hai jiwa yang tenang.(28) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Q.S. 89:27-28)
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang tenteram dan bersumber dari kalbu manusia yang mampu merasakan thuma'ninah sebagaimana dalam firman Allah:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ’ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ì�ø.É‹Î/ «!$# 3 Ÿwr& Ì�ò2É‹Î/ «!$# ’ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. 13:28).
Kepribadian muthmainnah merupakan kepribadian atas-sadar atau supra-kesadaran manusia, karena kepribadian muthmainnah merasa tenang dalam menerima keyakinan fitriah. Adapun jalan atau cara untuk membentuk kepribadian seperti ini adalah dengan cara memperbanyak dzikir (ingat) kepada Allah swt sebagaimana tercantum dalam ayat di atas. Esensi dzikir yang bermuasal dari aspek vertikal antara Tuhan dengan manusia menjadi aspek horisontal dimana manusia juga menerima manfaat secara lahir.
Kepribadian muthmainnah akan membentuk enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan. Aktualisasi bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh energi psikis yang disebut dengan amanah yang dihujamkan oleh Allah swt.
D. Penutup
Pemaparan di atas, baik struktur kepribadian menurut Freud yang menemukan teori psikoanalisa klasik maupun struktur kepribadian Islam terdapat perbedaan dan persamaan antara keduanya. Persamaan antara keduanya terdapat pada id yang merupakan sumber primer dalam diri manusia serta lebih bersifat kepada seksualitas sama dengan posisi nafs ammarah, kedua-duanya berada dalam alam bawah-sadar (unconcious). Sedangkan ego yang merupakan sumber sekunder dan berada pada alam sadar (concius) mengalami sedikit perbedaan tujuan dengan lawwamah, yaitu ego hanya sebatas pada perantara (penengah) antara id dan superego, yang diaplikasikan dengan reward (hadiah) dan punishment (hukuman). Sedangkan lawwamah masih mengalami dua kemungkinan, yaitu kecenderungan pada arah negatif yang disebut lawwamah malumah dan cenderung pada arah positif (lawwamah ghairu malumah), sehingga menyebabkan adanya hukuman dan penyesalan terhadap diri. Namun keduanya juga memiliki kesamaan, yaitu struktur kepribadian yang dalam posisi ini sama-sama sebagai kontrol diri (self control).
Perbedaan mendasar antara teori Freud dan Teori psikologi menurut Islam terletak pada posisi atau tingkatan ketiga. Superego cenderung hanya menerangkan sebatas hubungan manusia (individu) dengan norma masyarakat, sedangkan muthmainnah lebih cenderung pada pola hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam hal ini, superego merupakan kontrol Id dan Ego sesuai dengan norma masyarakat dan tidak ada hubungan dengan hukuman Tuhan, selama masyarakat menerima dan tidak menjadikan hal itu sebagai pelanggaran norma, maka superego tidak berfungsi. Lain halnya dengan muthmainnah, yang mana tingkatan ini selain menjadi kontrol tetapi juga sebagai cara pendekatan diri (pembersihan diri) dan hubungan secara vertikal.
Secara keseluruhan konsep struktur kepribadian yang diungkap oleh Freud berbeda dengan struktur kepribadian dalam Islam. Struktur kepribadian Freud dengan beberapa tingkatannya yaitu Id, Ego, dan Superego diungkap serta bertujuan akhir untuk melihat sebuah tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma dan diterima oleh masyarakat. Sedangkan struktur kepribadian dalam Islam bertujuan pada bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya yang dilihat dari sebuah tingkah laku (akhlaq) manusia itu sendiri. Seperti halnya mutmainnah yang dinyatakan sebagai tempat (maqam) tertinggi dengan segala kebijakan serta kebersihan jiwa dan dinyatakan sebagai orang yang dekat dengan Allah, memiliki kelebihan suatu hal yang tidak semua orang mampu melakukannya, sangat berbeda dengan superego yang hampir semua manusia mampu melaksanakannya.
Untuk lebih jelasnya tentang pemaparan di atas dapat ditelaah dari bagan berikut ini:


Demikianlah pemaparan tentang struktur kepribadian antara konsep Freud dan Islam, serta bagaimana perbedaan dan persamaannya, kemudian dari kekurangan konsep Freud yang hanya berorientasi pada tingkah laku sesuai norma masyarakat ( attitude ) ditambal dengan kelebihan konsep Islam yang tidak hanya berorientasi pada hal tersebut tetapi juga norma agama (akhlaq) yang puncak orientasinya adalah Allah swt.
Dalam Islam, hakikat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Hakekat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok; Pertama, bahwa psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, Kebudayaan Islam, dan sebagaianya. Penempatan kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memilili pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakekat jiwa), epistimologi (bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melalui kerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti Psikopatologi Islam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi Sosial Islam, dan sebagainya.
Kedua, bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh, al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fu’ad, al-sirr, al-fithrah, dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Qur’an, al-Sunnah, serta dari khazanah pemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apa hakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar)-nya. Dari sini nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah swt.
Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan demikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuasa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasiangan, kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakan telah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-ilmiah adalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitas suatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri. Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika orang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta mengklaim keabsahan dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yang sama, yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Ihya' Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr,1980.
Bruno, Frank.J. Kamus Istilah Kunci Psikologi. terj. Cecilia G. Samekto. judul asli, "Dictionary of Key in Psychology". Yogyakarta:Kanisius,1989.
Chaplin, J.P. Kamus lengkap Psikologi. Jakarta: Grafindo Persada, 1999. cet.V.
Hall, Calvin S. & Linzey, Gadner. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius.1993.
Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:Bulan Bintang, 1995.
[1] Frank.J.Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto, judul asli, "Dictionary of Key in Psychology", (Yogyakarta:Kanisius,1989), hal.236-237.
[2] Calvin S.Hall & Gadner. Linzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis) (Yogyakarta: Kanisius.1993), hal.17-43.
[6] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hal. 39.
[10]Mujib dan Jusuf, Nuansa-nuansa Psikologi Islam,hal 63-67.
[11] lawwamah berasal dari kata al-talum yang berarti al-taraddud (bimbang dan ragu-ragu). Kebimbangan itu seperti mengingat lalu lupa, menerima lalu menolak halus dan kemudian kasar , taubat lalu durhaka, taat dan takwa lalu lacur. Dikatakan lawwamah karena sifatnya yang al-lawm yang berarti celaan karena meninggalkan iman, atau celaan karena berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan.
1 komentar:
Casinos Near Casinos Near Casinos in Las Vegas, NV
Find the closest 원주 출장안마 casinos to Las 성남 출장마사지 Vegas, NV. Discover 전주 출장안마 locations, see photos, see special offers, and reviews. 이천 출장안마 MapMaker delivers 성남 출장마사지 the highest
Posting Komentar